Tuesday 16 October 2018

Aksi - aksi yang dilakukan PKI selain G30S

Halo teman - teman, setelah lama saya tidak memposting lagi karena adsense ditolak :v, kali ini saya akan berbagi pengetahuan yang tentang sejarah. Kali ini saya akan membahas seputar PKI, mungkin yang kita pikirkan setelah mendengar kata PKI yaitu hanya G30S saja. Eitts ternyata bukan hanya itu saja, masih banyak lagi aksi - aksi yang dilakukan PKI untuk menghancurkan integritas bangsa Indonesia dan menggantikan Ideologi Indonesia. Bahkan aksinya pun sudah dilakukan sebelum kemerdekaan Indonesia. Tentunya ini adalah tantangan berat bagi Bangsa Indonesia karena selain dijajah, mereka harus berjuang mempertahankan persatuan Bangsa Indonesia. Apa saja aksi - aksi yang dilakukan PKI ?


  • Peristiwa 12 November 1926


Sejak 1924, yaitu pada kongres PKI di Kotagede Yogyakarta, berlangsung alih kepemimpihan partai dari pasangan Alimin-Musso kepada Aliarcham dan Sardjono. Hal ini terjadi, karena pimpinan yang lebih senior tidak bersedia memimpin PKI. Berbagai aksi pemogokan yang dilancarkan atas komando partai mengalami kegagalan, sehingga pada tahun 1924 Pemerintah Hindia Belanda memperketat pengawasan dan mempersempit ruang gerak para tokoh partai serta aktivitasnya.


Pada tahun 1925 Darsono diusir ke luar Indonesia, Aliarcham dibuang ke Digul, sedang Musso, Alimin dan Tan Malaka terpaksa menyingkir ke luar negeri. Sardjono bersama-sama dengan para pemimpin PKI yang masih bebas, seperti Budisutjitro, Sugono, Suprodjo, Marco dan lainnya pada tanggal 25 Desember 1925 mengadakan rapat di Prambanan untuk membahas situasi terakhir yang semakin mengancam keberadaan PKI. Rapat memutuskan mengadakan pemberontakan untuk menegakkan Negara Soviet Indonesia. Pemberontakan akan dimulai pada tanggal 18 Juni 1926.

Sekalipun Pemerintah Hindia Belanda tidak mencium rencana tersebut, pada bulan Januari 1926 pemerintah mencoba menangkap Musso, Budisutjitro dan Sugono. Namun sebelum ditangkap tokoh-tokoh PKI itu berhasil melarikan diri ke Singapura. Di Singapura telah berkumpul beberapa tokoh PKI lain, yaitu Alimin, Subakat, Sanusi, dan Winanta. Alimin bersama tokoh-tokoh lain yang baru datang dari Indonesia, membicarakan keputusan Prambanan. Hasil pembicaraan itu tidak pernah dijelaskan. Mereka memutuskan mengutus Alimin menemui Tan Malaka di Manila. Pada bulan Pebruari 1926 Tan Malaka sudah menyampaikan pendapatnya secara konkrit menentang keputusan Prambanan yang akan dilaksanakan pada 18 Juni 1926.

Menurut Tan Malaka keputusan Prambanan adalah suatu keputusan yang sudah terlanjur, dan bertentangan dengan aturan Komintern. Karena itu harus diganti dengan massa aksi yang terus menerus, pemogokan dan demonstrasi yang tak putus-putus. Tahap selanjutnya adalah merebut kekuasaan. Dalam merencanakan suatu pemberontakan, Tan Malaka memiliki konsep yang matang. Dalam brosurnya “Menudju Republik Indonesia” (Naar Republiek Indonesia) yang ditulis pada 1924 ia memberikan berbagai petunjuk mengenai taktik dan strategi revolusi yang antara lain:

“Jika kita pelajari tempat mana yang sangat menguntungkan bagi kita untuk digempur, maka pilihan kita akan jatuh pada lembah Bengawan Solo. Memang di sini mempunyai harapan besar dapat merampas kekuasaan ekonomi dan politik dan bertahan dari pada di Batavia dan di Priangan. Di lembah Bengawan Solo bertimbun-timbun buruh industri dan petani melarat yang akan mewujudkan tenaga-tenaga, bukan saja untuk perampasan akan tetapi juga syarat-syarat teknis dan ekonomi mempertahankan perampasan itu. Di Batavia atau Priangan kemenangan politik atau militer akan sukar didapat dan dipertahankan (dari pada di lembah Bengawan Solo) karena sangat sedikit faktor-faktor teknis dan ekonomis yang tersedia di sana. Kemenangan politik dan militer yang modern hanya dipertahankan jika kita memiliki syarat-syarat kekuasaan ekonomi. Bahkan kita nanti harus mengerahkan induk pasukan kita ke lembah Bengawan Solo, agar offensif revolusioner dapat menentukan strategi seluruhnya”.

Selanjutnya Tan Malaka mengingatkan bahwa seluruh rakyat belum berada di bawah PKl, situasi revolusioner perlu dikembangkan, dan anggota PKl belum cukup berdisiplin. Begitu pula tuntutan yang konkrit belum dirumuskan.

Penolakan Tan Malaka dibicarakan kembali oleh Alimin bersama pimpinan PKI yang berada di Singapura. Akhirnya diputuskan untuk menolak thesis Tan Malaka.Alimin clan Musso diutus ke Moskow pada bulan Maret 1926. Pada bulan Maret 1926 Tan Malaka menerima pemberitahuan dari Alimin, bahwa thesisnya ditolak oleh partai. Sekali lagi Tan Malaka meminta pimpinan partai untuk mendiskusikan keputusan Prambanan tersebut.

Diskusi antara Tan Malaka, Subakat dan Suprodjo menghasilkan kesepakatan membatalkan keputusan itu. Hasil kesepakatan diskusi disampaikan oleh Suprodjo kepada Sardjono tetapi ditolak. Sardjono tetap pada pendiriannya, revolusi tetap akan dilaksanakan.
Ketika keputusan Prambanan sedang didiskusikan oleh Tan Malaka di Singapura, Alimin dan Musso telah tiba di Moskow. Mereka menyampaikan rencana revolusi di Indonesia. Rencana itu didukung oleh Trostsky, tetapi ditolak oleh Stalin. Oleh karena itu Alimin dan Musso ditahan selama 3 bulan untuk direindoktrinasi tentang teori perjuangan revolusioner.

Stalin memutuskan melarang rencana pemberontakan diteruskan.Alimin dan Masso ditugasi membawa keputusan ini ke Indonesia. Musso menolak keputusan Stalin dan akan tetap melaksanakan pemberontakan. Sebelum Alimin dan Musso tiba di Indonesia pergolakan sudah meletus. Perintah untuk memulai pemberontakan disampaikan seminggu sebelumnya oleh pimpinan PKI. Perintah-perintah disampaikan lewat juru propaganda yang berjalan keliling.

Sementara itu diJawa pemberontakan dimulai secara serentak di berbagai tempat sejak tanggal 12 November 1926. Di Jakarta, Jatinegara, dan Tangerang pemberontakan berlangsung dari tanggal 12-14 November, sedang di Karesidenan Banten berlangsung dari tanggal 12 November sampai 5 Desember 1926, seperti di Labuhan, Menes, Caringin, dan Pandeglang. Di kabupaten Bandung berlangsung dari 12-18 November 1926 yakni di Rancaekek, Cimahi, Padalarang, dan Nagrek. Di Priangan Timur pemberontakan terjadi di Ciamis, Tasikmalaya.

Di Karesidenan Surakarta, khususnya di Kabupaten Boyolali pemberontakan terjadi pada tanggal 17 November sampai 23 November.Di daerah Kediri berlangsung dari 12 November – 15 Desember.Pemberontakan meluas ke Banyumas, Pekalongan dan Kedu. Di Sumatera Barat pemberontakan dimulai pada awal Januari 1927 di Sawahlunto, Silungkang, Solok, Kota Lawas, Pariaman, Painan, dan Lubuk Sikaping, dan berlangsung sampai akhir Februari 1927.

Ketika berita tentang pemberontakan di Jawa diterima oleh Komintern, di luar dugaan Komintern memberikan dukungannya dan menganjurkan kepada kaum komunis sedunia untuk membantu PKI. Dukungan tersebut dikemukakan pada pernyataan, “Komintern menyambut baik, perjuangan revolusioner rakyat Indonesia dan memberikan dukungan penuh”. Namun pelaksanaan pemberontakan PKI ini kurang terkoordinasi, sehingga mengalami kegagalan. Akibatnya pengawasan Pemerintah Hindia Belanda terhadap aktivitas politik pergerakan nasional sangat diperketat serta berpengaruh terhadap nasib para pemimpin PKI yang berada di luar negeri.

Pada bulan Desember 1926 Semaun dalam kondisi panik dan frustasi datang kepada Hatta, Ketua Perhimpunan Indonesia (PI) di negeri Belanda. Keduanya sepakat untuk mengatasi ketimpangan yang terjadi pada pergerakan dan kemudian menyusun suatu konvensi bersama yang memuat pernyataan: PI harus mengambil alih dan bertanggung jawab penuh atas gerakan rakyat Indonesia, PKI harus mengakui pimpinan SI, dan percetakan yang di bawah pengawasan PKI harus diserahkan kepada PI.

Sikap menyerah Semaun kepada Hatta, oleh Komintern, dalam hal ini Komite Eksekutif (EKKI), dinilai sebagai kesalahan besar. Tindakannya dipandang sebagai likuidasi PKI. Konvensi ini dibatalkan setahun kemudian (Desember 1927). Nasib Semaun kemudian ditentukan oleh Mahkamah yang dibentuk oleh EKKI. Ia dijatuhi hukuman dibuang ke Asia Tengah. Demikian pula dengan nasib kawan-kawannya. Musso direedukasi: diharuskan masuk sekolah partai di Moskow, sedangkan Alimin dijadikan petugas Komintern yang harus mengembara dari negara ke negara dan kemudian ditempatkan di Cina. Darsono diharuskan “bertobat” mengakui segala kesalahannya kepada pemimpin tertingginya, Stalin. Selanjutnya ia dibuang dan hidup terlunta-lunta di Jerman dan negeri Belanda.

Kegagalan pemberontakan yang dirancang dan dilaksanakan oleh PKI pada 1926/1927 ini mempunyai dampak yang merugikan bagi perjuangan pergerakan nasional. Pengawasan terhadap semua aktivitas partai-partai politik lebih diperketat. Ruang gerak para pemimpin nasionalis dipersempit, baik melalui undang-undang maupun melalui pengawasan. Nasib perjuangan pergerakan kemerdekaan nasional mengalami masa yang paling suram. Di sini kita melihat bahwa PKI hanya berjuang untuk mencapai tujuan politiknya yaitu merebut kekuasaan untuk mendirikan pemerintahan komunis. Agitasi dan slogan-slogan revolusi yang menyesatkan dan menipu, menelan korban ribuan putra-putra Indonesia yang masih buta politik.

  • Pemberontakan PKI Muso di Madiun

Sejak kegagalannya dalam pemberontakan tahun 1926/1927, PKI tidak terdengar namanya dalam waktu yang cukup lama. Namun itu tidak berarti PKI benar – benar membubarkan diri. Tokoh – tokoh partai itu lebih suka bergerak dibawah tanah. Sambal menunggu kesempatan terbaik untuk melakukan kegiatannya kembali, tokoh – tokoh partai itu mengadakan penataan oragnisasi secara rahasia, pembinaan kader, dan lain – lain.

Baru pada 1945, PKI muncul kembali, seiring dengan keluarnya Maklumat Pemerintah No. X yang memperbolehkan dibentuknya partai – partai politik. Sejak itulah PKI mulai bersaing dengan partai – partai lain untuk memperoleh sebanyak mungkin anggota dan simpatisan.

Perjanjian Renville antara Indonesia dan Belanda ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 diatas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Perjanjian Renville dan hasil – hasil lainnya dinilai sangat merugikan pihak Indonesia. Karena itu, Kabinet Amir Syarifuddin mendapat tantangan dari berbagai pihak. Pada tanggal 23 Januari 1948, Amir Syahrifuddin terpaksa mengembalikan mandatnya kepada Presiden. Presiden Soekarno kemudian membentuk sebuah cabinet baru dengan Perdana Mentrinya Mohammad Hatta.

Kabinet Hatta terpakasa melaksanakan persetujuan Renville yang ditentang banyak pihak itu. Dengan demikian, beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur harus dikosongkan. Dampak dari itu adalah sebanyak 35.000 anggota pasukan TNI Divisi Siliwangi dari Jawa Barat serta sekitar 6.000 anggota Divisi Damarwulan dari Jawa Timur, harus mengadakan hijrah ke Jawa Tengah.

Salah satu program cabinet Hatta adalah mengadakan rekonstruksi dan rasionalisasi terhadap tubuh anggatan bersenjata. Program itu bertujuan untuk menghemat biaya, penyederhanaan, serta penertiban organisasi angkatan bersenjata. Dengan program itu, diharapakan pula sebanyak 100.000 orang akan dikembalikan ke masyarakat. Belum lagi ditambah dengan mereka yang secara sukarela mau mengundurkan diri, akan sangat membantu pemerintah. Ternyata program itu ditentang keras oleh PKI, karena berdampak kepada sebagian besar anggotanya.

Sementara itu, Amir Syarifuddin yang merasa kecewa dengan jatuhnya cabinet, berhasil dipengaruhi oleh Muso. Muso adalah seorang tokoh PKI, yang baru kembali dari Uni Soviet. Langkah – langkah selanjutnya yang diambil Muso, Partai Sosialis, Parta Buruh, Sentral Buruh Seluruh Indonesia, dan Barisan Tani Indonesia. Pada Tanggal 26 Februari 1948, mereka mengadakan pertemuan di Surakarta. Dalam pertemuan itu terbentuklah Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin.

Dengan program – programnya itu, Amir Syahrifuddin dan tokoh –tokoh FDR lainnya melancarakan tuduhan – tuduhan palsu terhadap pemerintah. Bahkan Soekarno-Hatta dikecam sebagai penjahat – penjahat perang yang harus dihukum. Mereka juga tidak malu – malu mengecam hasil – hasil persetujuan Renville, padahal arsiteknya justru Amir Syahrifuddin sendiri. Kelompok FDR semakin kuat, sehubungan dengan kembalinya tokoh – tokoh PKI seperti Alimin dari Cina, Marulo Darusman dan Abdul Majid dari Belanda, serta Suripto dari Rusia.

Sementara itu, daerah Madiun dijadikan sebagai basis atau pusat kekuatan untuk rencana perebutan kekuasaan. Selain di Jawa Tengah, dan Jawa Timur, FDR/PKI juga melakukan kegiatan yang sama di Sumatra Barat. Rapat – rapat besar digelar antara lain di Bukittinggi, Solok, Batusangkar, dan Sawahlunto yang dipimpin oleh tokoh bernama Abdul Karim.

Pada tanggal 1 September 1948, sebuah politbiru dibentuk, yaitu bagian dari partai komunis yang mengurus masalah politik. Pada saat yang sama, partai – partai yang tadinya bergabung dalam FDR, semuanya menyatakan diri bergabung dengan PKI. Dengan itu secara resmi pula mereka menyatakan sikapnya dengan mengakui Muso dan Amir sebagai Pimpinan PKI. Kini sudah waktunya merek ameningkatkan aksi – aksi demonstrasi kaum buruhnya. Sementara itu, kaum tani diprovokasi agar mengambil ahli tanah  - tanah milik negara dan milik orang – orang kaya di berbagai daerah. Karena sikap PKI itu, pemerintah dan TNI berpendapat bahwa bangsa dan negara sedang menghadapi tantangan serius.

Pada tanggal 18 September 1948, Kolonel Sumarsono memproklamirkan berdirinya Republik Soviet Indonesia di Madiun.

Dalam menghadapi aksi kebiadaban PKI Muso, pemerintah bertindak cepat. Pada keesokan harinya, tanggal 19 September, sekitar 200 orang PKI dan beberapa tokohnya ditangkap di Yogyakarta. Kemudian pada malam harinya, Presiden Soekarno melalui radio mengecam pemberontakan itu dan menghimbau bangsa Indonesia untuk bersatu padu untuk menghadapinya. Untuk menumpas pemberontakan itu, TNI segera membentuk Operasi Militer I

Kekuatan operasi penumpasan tersebut bergerak dari kedua arah. Ada yang bergerak dari Surakarta, Purwodadi dan sekitarnya dan ada yang bergerak dari daerah Madiun dan sekitarnya. Untuk bisa menghancurkan kekuatan musuh secepat mungkin, pada tanggal 15 September mereka digempur dari dua arah. Dengan kekuatan yang ada, Panglima Besar Jendral Sudirman meyakinkan pemerintah, bahwa TNI mampu  memusnahkan Muso dan pasukannya dalam waktu dua minggu. Pada tanggal 30 September kaum pemberontak berhasil didesak keluar dan Muso berhasil ditembak mati pada keesokan harinya.

Sementara itu, Amir Syahrifuddin berhasil membunuh Gubernur Suryo di daerah Ngawi. Pada akhir November 1948, Amir Syahrifuddin berhasil ditangkap di daerah Alas Ketu, kemudian dibawa ke Yogyakarta. Pada 20 Desember 1948 ia dijatuhi hukuman tembak mati.

  • Pembebasan Gorang-Gareng (28 September 1948)

Pada tanggal 28 September 1948, Batalyon Sambas berhasil membebaskan gorang-gareng dan menyelamatkan tawanan yang belum sempat dibunuh. Di tempat tersebut di temukan puluhan orang yang dibunuh PKI. Gorang-gareng merupakan kota kecil sebelah utara Madiun. Di tempat ini terdapat pabrik gula Rojosari  yang menjadi markas pasukan PKI.

  • Pembantaian Kh Hamid Dimyathi Dl Tirtomoyo

Pemberontakan PKI 1948 di Madiun yang berusaha merebut kekuasaan negara juga merembet ke Pacitan. Agaknya memang sulit dihindarkan karena Kabupaten Pacitan merupakan salah satu daerah yang berada di dalam satu kesatuan wilayah Karesidenan Madiun bersama Kabupaten dan Kota Madiun, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Magetan dan Kabupaten Ngawi.

Tidak berbeda dengan wilayah lain, PKI menggelar permusuhan tidak saja kepada Pemerintah RI yang berkuasa, tapi juga menjadikan umat beragama terutama Islam serta berbagai pihak dari partai politik yang berseberangan dengan komunis, sebagai musuh utamanya.

Tekanan demi tekanan yang dilakukan para pengikut PKI ini demikian terasa di wilayah Pacitan.

Pondok Pesantren Tremas di Kecamatan Arjosari 15 km utara Kota Pacitan menjadi saksi sejarah kelam di tahun 1948. KH. Hamid Dimyathi, pimpinan dan pendirinya, bersama 14 orang pengikutnya, menjadi korban keganasan PKI.

Pesantren, tempat Prof. Mukti Ali (alm) pernah mondok ini, kini dipimpin secara kolektif oleh beberapa kiai muda, cucu-cucu KH. Hamid Dimyathi. Ketika disodori pertanyaan tentang kejuangan kakek rnereka hingga rnenjadi korban keganasan PKI di tahun 1948, para kiai muda pemimpin pesantren ini, hanya dapat menyodorkan catatan sejarah yang pernah disusun oleh para orang tua rnereka. Sejarah kelam, hingga menewaskan KH. Hamid Dimyathi dan 14 orang pengikutnya tersebut, terangkai dan menjadi satu dengan sejarah berdirinya Pesantren ini.

Hamid Dimyathi, di sekitar Proklamasi Kemerdekaan, tercatat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan juga menjadi aktivis Partai Masyumi. Disamping sebagai pimpinan Pesantren Tremas, juga menjadi Kepala Penghulu di Kabupaten Pacitan.

Karena kesibukannya yang demikian padat, KH. Hamid Dimyathi pada suatu kesempatan, dengan terpaksa tidak dapat memenuhi undangan Bung Tomo di Surabaya. Maksud Bung Tomo ketika itu mengundang para pimpinan Pondok Pesantren, untuk merninta bantuan agar ikut mengobarkan semangat perjuangan mempertahankan Kemerdekaan RI di kalangan ulama dan kiai pimpinan pesantren lain yang ada di sekitar Tremas. KH. Hamid Dimyathi, dalam kesempatan itu mewakilkan kepada kakak iparnya, Kiai Mursyid, untuk memenuhi undangan Bung Tomo di Surabaya.

Sejak sebelum meletusnya Pemberontakan PKI 1948 di Madiun, situasi kacau dan serba tidak rnenentu sebenamya sudah sangat  terasa  di wilayah  Pacitan.  Sebagai  pimpinan Partai Masyumi dan juga Penghulu di Pacitan, KH. Hamid Dimyathi merasa prihatin atas situasi yang sudah demikian mengancam keselamatan umat. Karenanya KH. Hamid Dimyathi berusaha mengadakan kontak langsung ke Yogyakarta, untuk melaporkan kondisi secara umum yang saat itu sedang berkembang di Pacitan.

Laporan yang hendak disampaikan ke jajaran Pemerintah Pusat, gagal dilakukan dengan menggunakan sarana telepon. Karena itu, KH. Hamid Dimyathi pribadi bertekad berangkat ke Yogyakarta. Sejumlah 14 orang mengikuti perjalanannya. Empat orang di antaranya adalah Djoko, Abu Naim, Yusuf dan Qosim adalah para kakak dan adik ipar KH . Dimyathi.

Dalam perjalanan dengan jalan kaki, 15 orang dalam rombongan ini mengambil jalan pintas. Rombongan melakukan penyamaran. Ketika rombongan berhenti di sebuah warung di wilayah Pracimantoro (selatan Wonogiri), Jawa Tengah, penyamaran mereka diketahui oleh gerombolan pemberontak dari kalangan PKI. Mereka ditangkap dan dibawa ke Baturetno. Dalam penyekapan ini, KH. Hamid Dimyathi bersama 14 orang pengikutnya mengalami penyiksaan yang sangat tidak manusiawi. Seminggu di Baturetno, mereka kemudian dipindahkan ke Tirtomoyo di wilayah Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Di wilayah ini, KH. Hamid Dimyathi bersama pengikutnya dihabisi dan dimasukkan ke dalam satu lubang semacam sumur, secara keji.

Satu orang di antara rombongan ini dibiarkan hidup. Dia adalah Shoimun. Sengaja dibiarkan hidup, karena pemberontak berharap agar peristiwa tersebut dikabarkan ke keluarga, di samping yang lebih utama lagi agar berita yang dibawa Shoimun ini, mampu lebih mencekam dan mengancam kalangan umat Islam yang kontra terhadap PKI.

Setelah situasi aman, pelacakan dilakukan berdasar pada petunjuk yang diberikan Shoimun. Kuburan massal di bekas sumur tua dapat ditemukan. Namun ketika dilakukan evakuasi, dari dalam lubang sumur tersebut tidak ditemukan 14 mayat melainkan 13 mayat yang sudah sangat sulit dikenali satu-persatu. Jenazah para syuhada ini kemudian dipindahkan ke Taman Makan Pahlawan Jurug Surakarta dipinggir Bengawan Solo. Hingga saat ini masih dapat dilihat, bekas tempat pembantaian ke 14 korban tersebut, dengan diberi tanda semacam monument dan dilengkapi dengan prasasti.

  • Peristiwa Tanjung Morawa

Pada tahun 1953 Pemerintah RI Karesidenan Sumatera Utara merencanakan untuk mencetak sawah percontohan di bekas areal perkebunan tembakau di desa Perdamaian, Tanjung Morawa. Akan tetapi areal perkebunan itu sudah ditempati oleh penggarap liar. Di antara mereka terdapat beberapa imigran gelap Cina. Usaha pemerintah untuk memindahkan para penggarap dengan memberi ganti rugi dan menyediakan lahan pertanian, dihalang-halangi oleh Barisan Tani Indonesia (BTI), organisasi massa PKI. Oleh karena cara musyawarah gagal, maka pada tanggal 16 Maret 1953 pemerintah terpaksa mentraktor areal tersebut dengan dikawal oleh sepasukan polisi. Untuk menggagalkan usaha pentraktoran, BTI mengerahkan massa yang sudah mereka pengaruhi dari berbagai tempat di sekitar Tanjung Morawa. Mereka bertindak brutal. Polisi melepaskan tembakan peringatan ke atas, tetapi tidak dihiraukan, bahkan mereka berusaha merebut senjata polisi. Dalam suasana kacau, jatuh korban meninggal dan luka-luka.

  • Peristiwa Bandar Betsi

Untuk menggagalkan rencana pemerintah di bidang landeform,PKI dan organisasinya massanya melancarkan aksi sepihak yakni menguasai secara tidak sah tanah negara dibeberapa tempat.Salah satu diantaranya di Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Karet IX Bandar Betsi, Pematangan Siantar. Pada tanggal 14 Mei 1965,kurang lebih 200 anggota Barisan Tani Indonesia (BTI). Pemuda Rakyat (PR) dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) menanami secara liar tanah perkebunan karet tersebut. Pelda Sudjono yang dikaryakan di perkebunan itu sedang bertugas mengeluarkan traktor yang terperosok, memperingatkan massa agar menghentikan penanaman liar itu.Akan tetapi peringatan itu tidak di hiraukan bahkan pelda Sudjono dikeroyok dan dianiaya, sehingga tewas pada waktu itu juga.

No comments:

Post a Comment