Halo teman - teman, setelah lama saya tidak memposting lagi karena adsense ditolak :v, kali ini saya akan berbagi pengetahuan yang tentang sejarah. Kali ini saya akan membahas seputar PKI, mungkin yang kita pikirkan setelah mendengar kata PKI yaitu hanya G30S saja. Eitts ternyata bukan hanya itu saja, masih banyak lagi aksi - aksi yang dilakukan PKI untuk menghancurkan integritas bangsa Indonesia dan menggantikan Ideologi Indonesia. Bahkan aksinya pun sudah dilakukan sebelum kemerdekaan Indonesia. Tentunya ini adalah tantangan berat bagi Bangsa Indonesia karena selain dijajah, mereka harus berjuang mempertahankan persatuan Bangsa Indonesia. Apa saja aksi - aksi yang dilakukan PKI ?
- Peristiwa 12 November 1926
Sejak 1924, yaitu pada kongres PKI di Kotagede Yogyakarta,
berlangsung alih kepemimpihan partai dari pasangan Alimin-Musso kepada
Aliarcham dan Sardjono. Hal ini terjadi, karena pimpinan yang lebih senior
tidak bersedia memimpin PKI. Berbagai aksi pemogokan yang dilancarkan atas
komando partai mengalami kegagalan, sehingga pada tahun 1924 Pemerintah Hindia
Belanda memperketat pengawasan dan mempersempit ruang gerak para tokoh partai
serta aktivitasnya.
Pada tahun 1925 Darsono diusir ke luar Indonesia, Aliarcham
dibuang ke Digul, sedang Musso, Alimin dan Tan Malaka terpaksa menyingkir ke
luar negeri. Sardjono bersama-sama dengan para pemimpin PKI yang masih bebas,
seperti Budisutjitro, Sugono, Suprodjo, Marco dan lainnya pada tanggal 25
Desember 1925 mengadakan rapat di Prambanan untuk membahas situasi terakhir
yang semakin mengancam keberadaan PKI. Rapat memutuskan mengadakan
pemberontakan untuk menegakkan Negara Soviet Indonesia. Pemberontakan akan
dimulai pada tanggal 18 Juni 1926.
Sekalipun Pemerintah Hindia Belanda tidak mencium rencana
tersebut, pada bulan Januari 1926 pemerintah mencoba menangkap Musso,
Budisutjitro dan Sugono. Namun sebelum ditangkap tokoh-tokoh PKI itu berhasil
melarikan diri ke Singapura. Di Singapura telah berkumpul beberapa tokoh PKI
lain, yaitu Alimin, Subakat, Sanusi, dan Winanta. Alimin bersama tokoh-tokoh
lain yang baru datang dari Indonesia, membicarakan keputusan Prambanan. Hasil
pembicaraan itu tidak pernah dijelaskan. Mereka memutuskan mengutus Alimin
menemui Tan Malaka di Manila. Pada bulan Pebruari 1926 Tan Malaka sudah
menyampaikan pendapatnya secara konkrit menentang keputusan Prambanan yang akan
dilaksanakan pada 18 Juni 1926.
Menurut Tan Malaka keputusan Prambanan adalah suatu keputusan yang
sudah terlanjur, dan bertentangan dengan aturan Komintern. Karena itu harus
diganti dengan massa aksi yang terus menerus, pemogokan dan demonstrasi yang
tak putus-putus. Tahap selanjutnya adalah merebut kekuasaan. Dalam merencanakan
suatu pemberontakan, Tan Malaka memiliki konsep yang matang. Dalam brosurnya
“Menudju Republik Indonesia” (Naar Republiek Indonesia) yang ditulis pada 1924
ia memberikan berbagai petunjuk mengenai taktik dan strategi revolusi yang
antara lain:
“Jika kita pelajari tempat mana yang sangat menguntungkan bagi
kita untuk digempur, maka pilihan kita akan jatuh pada lembah Bengawan Solo.
Memang di sini mempunyai harapan besar dapat merampas kekuasaan ekonomi dan
politik dan bertahan dari pada di Batavia dan di Priangan. Di lembah Bengawan
Solo bertimbun-timbun buruh industri dan petani melarat yang akan mewujudkan
tenaga-tenaga, bukan saja untuk perampasan akan tetapi juga syarat-syarat
teknis dan ekonomi mempertahankan perampasan itu. Di Batavia atau Priangan
kemenangan politik atau militer akan sukar didapat dan dipertahankan (dari pada
di lembah Bengawan Solo) karena sangat sedikit faktor-faktor teknis dan
ekonomis yang tersedia di sana. Kemenangan politik dan militer yang modern
hanya dipertahankan jika kita memiliki syarat-syarat kekuasaan ekonomi. Bahkan
kita nanti harus mengerahkan induk pasukan kita ke lembah Bengawan Solo, agar
offensif revolusioner dapat menentukan strategi seluruhnya”.
Selanjutnya Tan Malaka mengingatkan bahwa seluruh rakyat belum
berada di bawah PKl, situasi revolusioner perlu dikembangkan, dan anggota PKl
belum cukup berdisiplin. Begitu pula tuntutan yang konkrit belum dirumuskan.
Penolakan Tan Malaka dibicarakan kembali oleh Alimin bersama
pimpinan PKI yang berada di Singapura. Akhirnya diputuskan untuk menolak thesis
Tan Malaka.Alimin clan Musso diutus ke Moskow pada bulan Maret 1926. Pada bulan
Maret 1926 Tan Malaka menerima pemberitahuan dari Alimin, bahwa thesisnya
ditolak oleh partai. Sekali lagi Tan Malaka meminta pimpinan partai untuk mendiskusikan
keputusan Prambanan tersebut.
Diskusi antara Tan Malaka, Subakat dan Suprodjo menghasilkan
kesepakatan membatalkan keputusan itu. Hasil kesepakatan diskusi disampaikan
oleh Suprodjo kepada Sardjono tetapi ditolak. Sardjono tetap pada pendiriannya,
revolusi tetap akan dilaksanakan.
Ketika keputusan Prambanan sedang didiskusikan oleh Tan Malaka di
Singapura, Alimin dan Musso telah tiba di Moskow. Mereka menyampaikan rencana
revolusi di Indonesia. Rencana itu didukung oleh Trostsky, tetapi ditolak oleh
Stalin. Oleh karena itu Alimin dan Musso ditahan selama 3 bulan untuk
direindoktrinasi tentang teori perjuangan revolusioner.
Stalin memutuskan melarang rencana pemberontakan diteruskan.Alimin
dan Masso ditugasi membawa keputusan ini ke Indonesia. Musso menolak keputusan
Stalin dan akan tetap melaksanakan pemberontakan. Sebelum Alimin dan Musso tiba
di Indonesia pergolakan sudah meletus. Perintah untuk memulai pemberontakan
disampaikan seminggu sebelumnya oleh pimpinan PKI. Perintah-perintah disampaikan
lewat juru propaganda yang berjalan keliling.
Sementara itu diJawa pemberontakan dimulai secara serentak di
berbagai tempat sejak tanggal 12 November 1926. Di Jakarta, Jatinegara, dan
Tangerang pemberontakan berlangsung dari tanggal 12-14 November, sedang di
Karesidenan Banten berlangsung dari tanggal 12 November sampai 5 Desember 1926,
seperti di Labuhan, Menes, Caringin, dan Pandeglang. Di kabupaten Bandung
berlangsung dari 12-18 November 1926 yakni di Rancaekek, Cimahi, Padalarang,
dan Nagrek. Di Priangan Timur pemberontakan terjadi di Ciamis, Tasikmalaya.
Di Karesidenan Surakarta, khususnya di Kabupaten Boyolali
pemberontakan terjadi pada tanggal 17 November sampai 23 November.Di daerah
Kediri berlangsung dari 12 November – 15 Desember.Pemberontakan meluas ke
Banyumas, Pekalongan dan Kedu. Di Sumatera Barat pemberontakan dimulai pada
awal Januari 1927 di Sawahlunto, Silungkang, Solok, Kota Lawas, Pariaman,
Painan, dan Lubuk Sikaping, dan berlangsung sampai akhir Februari 1927.
Ketika berita tentang pemberontakan di Jawa diterima oleh
Komintern, di luar dugaan Komintern memberikan dukungannya dan menganjurkan
kepada kaum komunis sedunia untuk membantu PKI. Dukungan tersebut dikemukakan
pada pernyataan, “Komintern menyambut baik, perjuangan revolusioner rakyat
Indonesia dan memberikan dukungan penuh”. Namun pelaksanaan pemberontakan PKI
ini kurang terkoordinasi, sehingga mengalami kegagalan. Akibatnya pengawasan
Pemerintah Hindia Belanda terhadap aktivitas politik pergerakan nasional sangat
diperketat serta berpengaruh terhadap nasib para pemimpin PKI yang berada di
luar negeri.
Pada bulan Desember 1926 Semaun dalam kondisi panik dan frustasi
datang kepada Hatta, Ketua Perhimpunan Indonesia (PI) di negeri Belanda.
Keduanya sepakat untuk mengatasi ketimpangan yang terjadi pada pergerakan dan
kemudian menyusun suatu konvensi bersama yang memuat pernyataan: PI harus
mengambil alih dan bertanggung jawab penuh atas gerakan rakyat Indonesia, PKI
harus mengakui pimpinan SI, dan percetakan yang di bawah pengawasan PKI harus
diserahkan kepada PI.
Sikap menyerah Semaun kepada Hatta, oleh Komintern, dalam hal ini
Komite Eksekutif (EKKI), dinilai sebagai kesalahan besar. Tindakannya dipandang
sebagai likuidasi PKI. Konvensi ini dibatalkan setahun kemudian (Desember 1927).
Nasib Semaun kemudian ditentukan oleh Mahkamah yang dibentuk oleh EKKI. Ia
dijatuhi hukuman dibuang ke Asia Tengah. Demikian pula dengan nasib
kawan-kawannya. Musso direedukasi: diharuskan masuk sekolah partai di Moskow,
sedangkan Alimin dijadikan petugas Komintern yang harus mengembara dari negara
ke negara dan kemudian ditempatkan di Cina. Darsono diharuskan “bertobat”
mengakui segala kesalahannya kepada pemimpin tertingginya, Stalin. Selanjutnya
ia dibuang dan hidup terlunta-lunta di Jerman dan negeri Belanda.
Kegagalan pemberontakan yang dirancang dan dilaksanakan oleh PKI
pada 1926/1927 ini mempunyai dampak yang merugikan bagi perjuangan pergerakan
nasional. Pengawasan terhadap semua aktivitas partai-partai politik lebih
diperketat. Ruang gerak para pemimpin nasionalis dipersempit, baik melalui
undang-undang maupun melalui pengawasan. Nasib perjuangan pergerakan
kemerdekaan nasional mengalami masa yang paling suram. Di sini kita melihat
bahwa PKI hanya berjuang untuk mencapai tujuan politiknya yaitu merebut kekuasaan
untuk mendirikan pemerintahan komunis. Agitasi dan slogan-slogan revolusi yang
menyesatkan dan menipu, menelan korban ribuan putra-putra Indonesia yang masih
buta politik.
- Pemberontakan PKI Muso di Madiun
Sejak kegagalannya dalam pemberontakan tahun 1926/1927, PKI tidak
terdengar namanya dalam waktu yang cukup lama. Namun itu tidak berarti PKI
benar – benar membubarkan diri. Tokoh – tokoh partai itu lebih suka bergerak
dibawah tanah. Sambal menunggu kesempatan terbaik untuk melakukan kegiatannya kembali,
tokoh – tokoh partai itu mengadakan penataan oragnisasi secara rahasia,
pembinaan kader, dan lain – lain.
Baru pada 1945, PKI muncul kembali, seiring dengan keluarnya
Maklumat Pemerintah No. X yang memperbolehkan dibentuknya partai – partai
politik. Sejak itulah PKI mulai bersaing dengan partai – partai lain untuk
memperoleh sebanyak mungkin anggota dan simpatisan.
Perjanjian Renville antara Indonesia dan Belanda ditandatangani
pada tanggal 17 Januari 1948 diatas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai
tempat netral yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Perjanjian Renville dan hasil – hasil lainnya dinilai sangat
merugikan pihak Indonesia. Karena itu, Kabinet Amir Syarifuddin mendapat
tantangan dari berbagai pihak. Pada tanggal 23 Januari 1948, Amir Syahrifuddin
terpaksa mengembalikan mandatnya kepada Presiden. Presiden Soekarno kemudian
membentuk sebuah cabinet baru dengan Perdana Mentrinya Mohammad Hatta.
Kabinet Hatta terpakasa melaksanakan persetujuan Renville yang
ditentang banyak pihak itu. Dengan demikian, beberapa daerah tertentu di Jawa
Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur harus dikosongkan. Dampak dari itu adalah
sebanyak 35.000 anggota pasukan TNI Divisi Siliwangi dari Jawa Barat serta
sekitar 6.000 anggota Divisi Damarwulan dari Jawa Timur, harus mengadakan
hijrah ke Jawa Tengah.
Salah satu program cabinet Hatta adalah mengadakan rekonstruksi
dan rasionalisasi terhadap tubuh anggatan bersenjata. Program itu bertujuan
untuk menghemat biaya, penyederhanaan, serta penertiban organisasi angkatan
bersenjata. Dengan program itu, diharapakan pula sebanyak 100.000 orang akan
dikembalikan ke masyarakat. Belum lagi ditambah dengan mereka yang secara
sukarela mau mengundurkan diri, akan sangat membantu pemerintah. Ternyata
program itu ditentang keras oleh PKI, karena berdampak kepada sebagian besar
anggotanya.
Sementara itu, Amir Syarifuddin yang merasa kecewa dengan jatuhnya
cabinet, berhasil dipengaruhi oleh Muso. Muso adalah seorang tokoh PKI, yang
baru kembali dari Uni Soviet. Langkah – langkah selanjutnya yang diambil Muso,
Partai Sosialis, Parta Buruh, Sentral Buruh Seluruh Indonesia, dan Barisan Tani
Indonesia. Pada Tanggal 26 Februari 1948, mereka mengadakan pertemuan di
Surakarta. Dalam pertemuan itu terbentuklah Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang
dipimpin oleh Amir Syarifuddin.
Dengan program – programnya itu, Amir Syahrifuddin dan tokoh
–tokoh FDR lainnya melancarakan tuduhan – tuduhan palsu terhadap pemerintah.
Bahkan Soekarno-Hatta dikecam sebagai penjahat – penjahat perang yang harus
dihukum. Mereka juga tidak malu – malu mengecam hasil – hasil persetujuan
Renville, padahal arsiteknya justru Amir Syahrifuddin sendiri. Kelompok FDR
semakin kuat, sehubungan dengan kembalinya tokoh – tokoh PKI seperti Alimin
dari Cina, Marulo Darusman dan Abdul Majid dari Belanda, serta Suripto dari
Rusia.
Sementara itu, daerah Madiun dijadikan sebagai basis atau pusat
kekuatan untuk rencana perebutan kekuasaan. Selain di Jawa Tengah, dan Jawa
Timur, FDR/PKI juga melakukan kegiatan yang sama di Sumatra Barat. Rapat –
rapat besar digelar antara lain di Bukittinggi, Solok, Batusangkar, dan
Sawahlunto yang dipimpin oleh tokoh bernama Abdul Karim.
Pada tanggal 1 September 1948, sebuah politbiru dibentuk, yaitu
bagian dari partai komunis yang mengurus masalah politik. Pada saat yang sama,
partai – partai yang tadinya bergabung dalam FDR, semuanya menyatakan diri
bergabung dengan PKI. Dengan itu secara resmi pula mereka menyatakan sikapnya
dengan mengakui Muso dan Amir sebagai Pimpinan PKI. Kini sudah waktunya merek
ameningkatkan aksi – aksi demonstrasi kaum buruhnya. Sementara itu, kaum tani
diprovokasi agar mengambil ahli tanah -
tanah milik negara dan milik orang – orang kaya di berbagai daerah. Karena
sikap PKI itu, pemerintah dan TNI berpendapat bahwa bangsa dan negara sedang
menghadapi tantangan serius.
Pada tanggal 18 September 1948, Kolonel Sumarsono memproklamirkan
berdirinya Republik Soviet Indonesia di Madiun.
Dalam menghadapi aksi kebiadaban PKI Muso, pemerintah bertindak
cepat. Pada keesokan harinya, tanggal 19 September, sekitar 200 orang PKI dan
beberapa tokohnya ditangkap di Yogyakarta. Kemudian pada malam harinya,
Presiden Soekarno melalui radio mengecam pemberontakan itu dan menghimbau
bangsa Indonesia untuk bersatu padu untuk menghadapinya. Untuk menumpas
pemberontakan itu, TNI segera membentuk Operasi Militer I
Kekuatan operasi penumpasan tersebut bergerak dari kedua arah. Ada
yang bergerak dari Surakarta, Purwodadi dan sekitarnya dan ada yang bergerak
dari daerah Madiun dan sekitarnya. Untuk bisa menghancurkan kekuatan musuh
secepat mungkin, pada tanggal 15 September mereka digempur dari dua arah.
Dengan kekuatan yang ada, Panglima Besar Jendral Sudirman meyakinkan
pemerintah, bahwa TNI mampu memusnahkan
Muso dan pasukannya dalam waktu dua minggu. Pada tanggal 30 September kaum
pemberontak berhasil didesak keluar dan Muso berhasil ditembak mati pada
keesokan harinya.
Sementara itu, Amir Syahrifuddin berhasil membunuh Gubernur Suryo
di daerah Ngawi. Pada akhir November 1948, Amir Syahrifuddin berhasil ditangkap
di daerah Alas Ketu, kemudian dibawa ke Yogyakarta. Pada 20 Desember 1948 ia
dijatuhi hukuman tembak mati.
- Pembebasan Gorang-Gareng (28 September 1948)
Pada tanggal 28 September 1948, Batalyon Sambas berhasil
membebaskan gorang-gareng dan menyelamatkan tawanan yang belum sempat dibunuh.
Di tempat tersebut di temukan puluhan orang yang dibunuh PKI. Gorang-gareng
merupakan kota kecil sebelah utara Madiun. Di tempat ini terdapat pabrik gula
Rojosari yang menjadi markas pasukan
PKI.
- Pembantaian Kh Hamid Dimyathi Dl Tirtomoyo
Pemberontakan PKI 1948 di Madiun yang berusaha merebut kekuasaan
negara juga merembet ke Pacitan. Agaknya memang sulit dihindarkan karena
Kabupaten Pacitan merupakan salah satu daerah yang berada di dalam satu kesatuan
wilayah Karesidenan Madiun bersama Kabupaten dan Kota Madiun, Kabupaten
Ponorogo, Kabupaten Magetan dan Kabupaten Ngawi.
Tidak berbeda dengan wilayah lain, PKI menggelar permusuhan tidak
saja kepada Pemerintah RI yang berkuasa, tapi juga menjadikan umat beragama
terutama Islam serta berbagai pihak dari partai politik yang berseberangan
dengan komunis, sebagai musuh utamanya.
Tekanan demi tekanan yang dilakukan para pengikut PKI ini demikian
terasa di wilayah Pacitan.
Pondok Pesantren Tremas di Kecamatan Arjosari 15 km utara Kota
Pacitan menjadi saksi sejarah kelam di tahun 1948. KH. Hamid Dimyathi, pimpinan
dan pendirinya, bersama 14 orang pengikutnya, menjadi korban keganasan PKI.
Pesantren, tempat Prof. Mukti Ali (alm) pernah mondok ini, kini
dipimpin secara kolektif oleh beberapa kiai muda, cucu-cucu KH. Hamid Dimyathi.
Ketika disodori pertanyaan tentang kejuangan kakek rnereka hingga rnenjadi
korban keganasan PKI di tahun 1948, para kiai muda pemimpin pesantren ini,
hanya dapat menyodorkan catatan sejarah yang pernah disusun oleh para orang tua
rnereka. Sejarah kelam, hingga menewaskan KH. Hamid Dimyathi dan 14 orang
pengikutnya tersebut, terangkai dan menjadi satu dengan sejarah berdirinya
Pesantren ini.
Hamid Dimyathi, di sekitar Proklamasi Kemerdekaan, tercatat
menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan juga menjadi aktivis
Partai Masyumi. Disamping sebagai pimpinan Pesantren Tremas, juga menjadi
Kepala Penghulu di Kabupaten Pacitan.
Karena kesibukannya yang demikian padat, KH. Hamid Dimyathi pada
suatu kesempatan, dengan terpaksa tidak dapat memenuhi undangan Bung Tomo di
Surabaya. Maksud Bung Tomo ketika itu mengundang para pimpinan Pondok
Pesantren, untuk merninta bantuan agar ikut mengobarkan semangat perjuangan
mempertahankan Kemerdekaan RI di kalangan ulama dan kiai pimpinan pesantren
lain yang ada di sekitar Tremas. KH. Hamid Dimyathi, dalam kesempatan itu
mewakilkan kepada kakak iparnya, Kiai Mursyid, untuk memenuhi undangan Bung
Tomo di Surabaya.
Sejak sebelum meletusnya Pemberontakan PKI 1948 di Madiun, situasi
kacau dan serba tidak rnenentu sebenamya sudah sangat terasa
di wilayah Pacitan. Sebagai
pimpinan Partai Masyumi dan juga Penghulu di Pacitan, KH. Hamid Dimyathi
merasa prihatin atas situasi yang sudah demikian mengancam keselamatan umat.
Karenanya KH. Hamid Dimyathi berusaha mengadakan kontak langsung ke Yogyakarta,
untuk melaporkan kondisi secara umum yang saat itu sedang berkembang di
Pacitan.
Laporan yang hendak disampaikan ke jajaran Pemerintah Pusat, gagal
dilakukan dengan menggunakan sarana telepon. Karena itu, KH. Hamid Dimyathi
pribadi bertekad berangkat ke Yogyakarta. Sejumlah 14 orang mengikuti
perjalanannya. Empat orang di antaranya adalah Djoko, Abu Naim, Yusuf dan Qosim
adalah para kakak dan adik ipar KH . Dimyathi.
Dalam perjalanan dengan jalan kaki, 15 orang dalam rombongan ini
mengambil jalan pintas. Rombongan melakukan penyamaran. Ketika rombongan
berhenti di sebuah warung di wilayah Pracimantoro (selatan Wonogiri), Jawa
Tengah, penyamaran mereka diketahui oleh gerombolan pemberontak dari kalangan
PKI. Mereka ditangkap dan dibawa ke Baturetno. Dalam penyekapan ini, KH. Hamid
Dimyathi bersama 14 orang pengikutnya mengalami penyiksaan yang sangat tidak
manusiawi. Seminggu di Baturetno, mereka kemudian dipindahkan ke Tirtomoyo di
wilayah Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Di wilayah ini, KH. Hamid Dimyathi
bersama pengikutnya dihabisi dan dimasukkan ke dalam satu lubang semacam sumur,
secara keji.
Satu orang di antara rombongan ini dibiarkan hidup. Dia adalah Shoimun.
Sengaja dibiarkan hidup, karena pemberontak berharap agar peristiwa tersebut
dikabarkan ke keluarga, di samping yang lebih utama lagi agar berita yang
dibawa Shoimun ini, mampu lebih mencekam dan mengancam kalangan umat Islam yang
kontra terhadap PKI.
Setelah situasi aman, pelacakan dilakukan berdasar pada petunjuk
yang diberikan Shoimun. Kuburan massal di bekas sumur tua dapat ditemukan.
Namun ketika dilakukan evakuasi, dari dalam lubang sumur tersebut tidak
ditemukan 14 mayat melainkan 13 mayat yang sudah sangat sulit dikenali
satu-persatu. Jenazah para syuhada ini kemudian dipindahkan ke Taman Makan
Pahlawan Jurug Surakarta dipinggir Bengawan Solo. Hingga saat ini masih dapat
dilihat, bekas tempat pembantaian ke 14 korban tersebut, dengan diberi tanda
semacam monument dan dilengkapi dengan prasasti.
- Peristiwa Tanjung Morawa
Pada tahun 1953 Pemerintah RI Karesidenan Sumatera Utara
merencanakan untuk mencetak sawah percontohan di bekas areal perkebunan
tembakau di desa Perdamaian, Tanjung Morawa. Akan tetapi areal perkebunan itu
sudah ditempati oleh penggarap liar. Di antara mereka terdapat beberapa imigran
gelap Cina. Usaha pemerintah untuk memindahkan para penggarap dengan memberi
ganti rugi dan menyediakan lahan pertanian, dihalang-halangi oleh Barisan Tani
Indonesia (BTI), organisasi massa PKI. Oleh karena cara musyawarah gagal, maka
pada tanggal 16 Maret 1953 pemerintah terpaksa mentraktor areal tersebut dengan
dikawal oleh sepasukan polisi. Untuk menggagalkan usaha pentraktoran, BTI
mengerahkan massa yang sudah mereka pengaruhi dari berbagai tempat di sekitar
Tanjung Morawa. Mereka bertindak brutal. Polisi melepaskan tembakan peringatan
ke atas, tetapi tidak dihiraukan, bahkan mereka berusaha merebut senjata
polisi. Dalam suasana kacau, jatuh korban meninggal dan luka-luka.
- Peristiwa Bandar Betsi
Untuk menggagalkan rencana pemerintah di bidang landeform,PKI dan
organisasinya massanya melancarkan aksi sepihak yakni menguasai secara tidak
sah tanah negara dibeberapa tempat.Salah satu diantaranya di Perusahaan
Perkebunan Negara (PPN) Karet IX Bandar Betsi, Pematangan Siantar. Pada tanggal
14 Mei 1965,kurang lebih 200 anggota Barisan Tani Indonesia (BTI). Pemuda
Rakyat (PR) dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) menanami secara liar tanah
perkebunan karet tersebut. Pelda Sudjono yang dikaryakan di perkebunan itu
sedang bertugas mengeluarkan traktor yang terperosok, memperingatkan massa agar
menghentikan penanaman liar itu.Akan tetapi peringatan itu tidak di hiraukan
bahkan pelda Sudjono dikeroyok dan dianiaya, sehingga tewas pada waktu itu
juga.
No comments:
Post a Comment